Powered By Blogger

Rabu, 11 April 2012

PETA PEMIKIRAN Dr. Ir. MUHAMMAD SYAHRUR DALAM KERANGKA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

A. Setting sosial masyarakat syria  
            Syria―tempat di mana Syahrur dilahirkan―adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah, Syria juga pernah menghadapi problematika modernitas, khususnya
benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problem ini muncul
karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari
gerakan modernisasi Turki, hal mana Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyyah (di turki). Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Thahir al-Jaza‘iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria.
            Reformasi al-Qasimi―bekas murid Muhammad ‘Abduh (1849-1905; tokoh pembaharu di Mesir)―berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan Tanzimat yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus dapat meramu rasionalitas, kemajuan, dan
modernitas dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk
menemukan kembali makna Islam yang orisinal dalam al-Qur‘an dan al-Sunnah
sembari menekankan ijtihad
. [1]
            Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza‘iri
beserta teman-temannya, dan kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya
pemajuan di bidang pendidikan. Dari
situlah kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di negara Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang ‘liberal‘ seperti Syahrur dapat dengan leluasa ‘bernafas‘ di Syria setelah menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim lainnya menjadi sangat forbidden, unlawful.[2]
B. Biografi
            Muhammad Syahrur ibn Daib lahir di Damaskus, Syiria,11 April 1938. pendidikannya diawali di sekolah Ibtidaiyah, Iddadiyah dan Tsanawiyah, di Damaskus. Syahrur memperoleh ijazah Sanawiyah di Abdurrahman al-kawakib (1957). pada tahun 1958 dengan beasiswa dari pemerintah Damaskus, Syahrur hijrah ke Uni Soviet untuk studi teknik sipil di Moskow dan menyelesaikan diplomanya pada 1964. di tahun 1965, syahrur kembali ke Syiria dan mengajar di Universitas Damaskus. Kemudian oleh pihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi pascasarjana dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Syahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi. [3]
            Namun, Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keislaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur‘an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran islam. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun Di bidang spesialisasinya sendiri, Syahrur sebetulnya juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri, sebab pada 1972, bersama rekan-rekannya, ia membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus, dan kemudian pada 1982-1983 kembali fihak universitas mengirimnya ke luar negeri sebagai tenaga ahli pada Al-Saud,Arab Saudi.


C. Fase-fase pemikiran Syahrur
Ø Fase pertama (1970-1980)
            Fase ini bermula saat syahrur mengambil jenjang magister dan doktol dalam bidang tekhnik sipil di universitas nasional irlandia di dublin. Fase ini adalah fase kontemplasi dan peletakan dasar pemahamannya dan istilah-istilah dasar al-Qur’an sebagai az-Zikr. Dalam fase ini belum membuahkan hasil pemikiran terhadap az-Zikr. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemikiran-pemikiran taklid yang diwariskan dan ada dalam khazanah karya islam lama dan modern, disamping cenderung pada islam sebagai ideologi (aqidah) baik dalam bentuk kalam maupun fiqh mazhab. Selain itu, dipengaruhi oleh konteks sosio-kultur masyarakat yang melingkupi ketika itu.
            Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, syahrur mendapati beberapa hal yang selama ini dianggap sebagai dasar islam, namun ternyata bukan, karena ia tak mampu menampilkan pandangan islam yang murni dalam menghadapi tantangan abad 20. menurutnya, hal itu dikarenakan dua hal: pertama, pengetahuan tentang akidah islam yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran mu’tazili atau asy’ari. kedua, pengetahuan tentang fiqh yang diajarkan di madrasah-madrasah beraliran maliki, hanafi, hambali syafi’I ataupun ja’fari. Menurut Syahrur, apabila penelitian modern dan ilmiah masih terkungkung oleh kedua hal tersebut, maka studi islam berda pada titik yang rawan.
Ø Fase kedua (1980-1986)
Pada 1980, syahrur bertemu dengan teman lamanya Dr.ja’far (yang medalami studi bahas di Uni soviet antara tahun 1958-1964). Dalam kesempatan tersebut, syahrur menyampaikan tentang perhatiannya besarnya terhadap studi bahasa, filsafat dan pemahamannya terhadap al-Qur’an. Kemudian syahrur menyampaikan pemikiran dan disertasinya di bidang bahasa yang disampaikan di universitas moskow pada 1973. topic disertasinya mengenai pandangan linguistik abd al-Qadir al-Jurhani (ahli nahwu dan balaghah) dan posisinya dalam linguistic umum. Lewat ja’far, syahrur belajar banyak tentang linguistik termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan al-Farra’, Abu Ali al-Farisi serta muridnya, Ibnu Jinni dan al-Jurhani. Sejak itu, syahrur berpendapat bahwa sebuah kata memiliki satu makna dan bahasa arab merupakan bahasa yang di dalamnya tidak terdapat sinonim. Selain itu, antara nahwu dan balaghah tidak dapat dipisahkan, sehingga menurutnya, selama ini ada kesalahan dalam pengajaran bahasa arab di berbagai madrasah dan universitas.
            Sejak itu pula, ia mulai menganalisis ayat-ayat al-Qur’an dengan model analisis baru. Dan pada tahun 1984, ia mulai menulis pokok-pokok pikirannya bersama ja’far yang digali dari al-kitab.
Ø Fase ketiga (1986-1990)
            Dalam fase ini, syahrur mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topic-topik tertentu. 1986-an dan akhir 1987, ia menyelesaikan bab pertama dari al-kitab wa al-Qur’an yang merupakan masalah-masalanh sulit. Bab-bab selanjutnya diselesaikan sampai tahun 1990.[4]
D. Karya-Karya
Syahrur juga menguasai bahasa Inggris dan Rusia. Namun, secara garis besar, karya-karya Syahrur dibagi ke dalam dua kategori: 1. Bidang teknik: Al-Handasah al-Asasiyyah (3 Volume) dan Al-Handasah al-Turabiyyah 2. Bidang keislaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi‘, Damaskus): Al-Kitab wa al-Qur‘an: Qira‘ah Mu‘ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu‘ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama‘ (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996),Masyru‘ Mitsaq al-‘Amal al-Islami (1999) dan Nawl usul jadidah li al-fiqh al-islamy: Fiqh al-marh (2000).[5]
            Di samping itu, Syahrur juga kerap menyumbangkan buah-pikirannya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The Divine
Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam Muslim Politics Report,
(1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam,
Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan juga dalam, Charles Kurzman
(ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University
Press,1998).


E. Kegelisahan Intelektual
            Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar
dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari problematika sosial yang
melingkupinya.
Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrur, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif, Syahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema
berikut[6]:
1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad.
2. Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya. 
3. Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat.
4. Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5. Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha‘ al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif[7]

F. Penelitian Terdahulu

            Metode dan Pendekatan dalam “Membaca” al-Qur‘an Sketsa epistemologis di atas mengesankan bahwa betapa Syahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur‘an. Metode dan pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengkaji al-Qur‘an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Tentu saja, ini berawal dari pertemuan Syahrur dengan Ja‘far Dik al-Bab yang kemudian memperkenalkan formulasi lingusitik Abu ‘Ali al-Farisi.[8]
             Dalam formulasi ini, terangkum dua dasar teoretis dari dua soko-guru utama,yaitu Teori linguistik Ibn Jinni dalam Khashaish-nya, dan  Teori linguistik Imam Jurjani dalam Dala‘il al-I‘jaz. Linguistik Ibn Jinni didasarkan atas teori-teori: a. Adanya struktur bahasa atau kalimat, termasuk suara sebagai sumber bahasa, b. Bahasa tidak tercipta dalam satu waktu melainkan berkembang secara evolutif, c. Bahasa senantiasa mengikuti sistematika atau aturan strukturnya, dan d. Perpautan antara bahasa, suara, dengan kondisi psikologis penggunanya. Sedang teori-teori linguistik dari Imam Jurjani, antara lain: a. Struktur bahasa dan fungsi transmisinya, dan b. Keterkaitan antara bahasa dengan pemikiran. Bila kedua akumulasi teori ini dikombinasikan, hasilnya adalah: a. Bahasa mempunyai struktur, b. Bahasa merupakan penampakan fenomena sosial, dan c. Keterkaitan antara bahasa dan pemikiran. Tetapi, formulasi linguistik seperti ini semata belum cukup bagi Syahrur untuk menopang pemikirannya dalam mengkaji teks-teks al-Qur‘an. Karena itu, sebagaimana juga memperoleh dukungan dari Mu‘jam Maqayis al-Lughah-nya al-Farisi, yang notabene adalah teori yang berasal dari al-Farisi sendiri yang diajarkan oleh gurunya Tsa‘lab, Syahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif).

G. Metodologi Yang Digunakan

Dari hasil pemahaman Teori linguistik Ibn Jinni dalam Khashaish-nya, dan  Teori linguistik Imam Jurjani dalam Dala‘il al-I‘jaz kemudian Syahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya, yaitu:
1. Dalam bahasa tidak ada sinonim, bahkan boleh jadi dalam satu kata memiliki makna yang banyak. Apa yang yang selama ini diyakini sebagai sinonim tidak lebih dari sebuah kepalsuan atau muslihat (khud‘ah).
2. Kata adalah ekspresi dari makna
3. Yang paling penting dari bahasa adalah makna.
4. Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif. [9]
            Dengan dasar metodologis seperti ini, Syahrur lalu mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks (ayat-ayat) al-Qur‘an melalui metode yang disebutnya dengan tartil. Perangkat metode ini menurutnya, memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Muzammil: 4 (…Dan bacalah al-Qur‘an itu secara tartil). Berbeda dari ulama pada umumnya yang menafsirkan tartil dengan membaca (tilawah), tartil, yang berasal dari akar kata al-ratl yang artinya “barisan pada urutan tertentu”, ditafsirkan Syahrur dengan“mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain”. Metode ini bagi Syahrur,
perlu dilakukan sebab banyak topik tertentu seperti penciptaan alam, penciptaan manusia, dan kisah para Nabi, disebutkan dalam al-Qur‘an secara berserakan di berbagai surat. Maka agar memperoleh gambaran komprehensif dan afirmatif tentang suatu topik, ayat-ayat berserakan itu harus dipertemukan. [10]
            Selanjutnya, dalam mempertemukan ayat-ayat yang mungkin berserakan itu,
dengan didasarkan bahwa kata adalah ekspresi dari makna, dan yang
terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, maka Syahrur menggunakan
pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis.
Semantik adalah “ilmu yang berhubungan dengan fenomena Makna dalam pengertian yang paling luas dari kata. Sedemikian luas, hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap mempunyai makna dapat dinyatakan sebagai obyek semantik”. Makna dalam pengertian ini dilengkapi dengan persoalan-persoalan penting para pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan seperti sosiologi, antropologi, psikologi, logika simbolik, matematik, rekayasa elektronik, dan lain-lain. Di samping itu sebagai studi makna, semantik senantiasa berkembang. Semantik Syahrur, dalam kaitan ini, tentu saja ditopang dan dikembangkan sesuai dengan minat, kecenderungan, dan latar belakang keilmuannya sendiri. Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Dalam meramu semantik dengan dua model analisanya ini Syahrur kerap kali menggunakan metafora dan analogi yang diambilnya dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains, terutama sekali adalah penggunaan analisa matematik (al-tahlili al-riyadhi) dan fisika.


H. Istilah-Istilah Kunci Dalam Penelitian    :al-istiqamah dan al-hanifiyah
            Agar mengetahui pesan hukum dalam perpektif syahrur perlu digambarkan perbedaan mendasar antara dua konsep yang bertentangan tetapi saling melengkapi. hubungan dialektis kedua konsep itu dapat dijumpai dalam kitab yaitu dengan ungkapan istiqamah (strangest) dan hanifiyah (culvature). setelah diperhatikan penggunaan kata-kata tersebut dalam al-Qur’an, syahrur menyimpulkan bahwa arti hanifiyah adalah penyimpangan dari jalan yang lurus atau dari kelurusan. lawan dari hanifiyah adalah istiqamah yang menjadi sifat dari kelurusan, mengikuti jalan yang lurus. istilah ini paling tidak untuk mengambarkan pola hubungan yang saling melengkapi dalam al-risalah. kelengkungan hanifiyah merupakan sifat dasar alam. benda-benda di alam ini tidak ada yang bergerak mengikuti pola lurus akan tetapi cenderung mengikuti garis lengkung. dalam ilmu fisika dijelaskan bahwa elektron terkecil sampai dengan galaksi terbesar bergerak mengikuti garis lengkung. mikro cosmos adalah miniatur makronya yang lebih besar. manusia dan alam. galaksi dan bimasakti.[11]
            Karena sifat dasar alam bersifat lengkung (hanif) maka kelurusan (istiqamah) menjadi sangat penting demi mengotrol dan mengendalikan perubahan ini untuk menegakkah aturan hukum. karena itu (istiqamah) bukanlah bagian dari hukum alam akan tetapi ia lebih sebagai ketentuan allah. karenanya hanifiyah dan istiqamah sama-sama berfungsi untuk mengatur manusia. manusia selalu membutuhkan istiqamah (QS. al-fatihah: 5). karenanya kita tidak pernah mendapati satu ayatpun dalam al-Qur’an tetang permohonan untuk ditunjuki jalan yang hanif (bengkok).
            Tentang apakah konsep istiqamah ini akan memaksakan lengkungan itu secara kaku? disinilah syahrur menawarkan ruang elastisitas hukum dengan tiori batasnya-batas hukum hudud atau teori limit.  sekali lagi, hubungan keduanya sepenuhnya dialektis. karena ketetapan dan perubahan yang terdapat pada hubungan keduanya terjalin dan berkelindan. dialiktis ini menunjukan elastisitas ruang hukum dalam menghadapi kondisi, tempa dan waktu (shalih li kuli makan wa zaman). akhirnya manusia bergerak dengan karakter kelengkunganya dalam batas-batas keluwesannya itu.[12]

I.Sumbangan Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
            Teori batas yang digagas Muhammad syahrur dapat dipahami sebagai  perintah Allah yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan sunnah mengandung ketentuan-ketentuan yang merupakan batas terendah (al-had al-adna)dan batas tertinggi (al-ahal al-a’ala) untuk seluruh perbuatan manusia. dalam kasus hukum ketetapan terendah adalah batasan minimum dan tertinggi adalah batasan maksimum. tidak ada bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum dan lebih tinggi dari batas maksimum. hukum akan ditetapkan antara batas maksimum dan minimum tergantung dari kualitas kesalahan yang dilakukan. Namun demikian perbedaan-perbedaan dan cakupanya terbagi ke dalam enam variasi.. berikut ini deskripsi singkat sekitar bentuk batas-batas hukum syahrur:[13]
a. Batas mimimum (al-had al-adna)
            Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisa’: 22: , dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad. contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisa’: 23: diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);...
dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihad.
b. Batasan maksimum (al-had al-a’la)
            Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. al-Maidah: 38 “mengenai pencuri. baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka”. potong tangan disini adalah hukuman maksimum. karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu. Adalah tanggung jawab para mujtahid untuk menentukan pencuri yang bertipe apa yang perlu dipotong tangannyadan tipe apa yang tidak. lantas bagaimana dengan korupsi dalam jumlah besar. ini digolongkan ke dalam pengkhianatan terhadap Allah dan rasul-Nya.  kesalahan itu sama juga dengan pembocoran rahasia negara. perampasan hak umum, harta negara yang mengancam banyak jiwa. maka mereka dihukum bunuh, disalib dan rajam sebagaiman dalam surat al-Maidah ayat: 33: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)”. yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,[14]
c. Posisi batas minimum dan maksimum bersamaan
            Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan. dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa ayat 11. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.syahrur berargumen,adalah suatu penetapan batas maksimum untuk anak laki-laki dan batasan minimum untuk anak perempuan. terlepas dari apakah wanita telah menjadi pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak pernah kurang dari 33,3 persen,sementara bagian laki-laki tidak pernah mencapai lebih dari 66,6 persen. jika wanita diberi 40 persen dan laki-laki diberi 60 persen, pembagian ini tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap batas maksimum dan batas minimum.
d. Posisi perpaduan pada satu titik
posisi batas minimum dan maksimum bersamaan pada titik atau posisi lurus pada penetapan hukum particular (‘ainiyah).  ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur ayat 2 mengenai kasus penzinaan. bagi penzina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 kali tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Tuhan menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukum-hukum yang seharusnya ditimpakan.[15]

e. Garis khalwat

            Dalam kasus ini posisi batas maksimum dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan.  posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
f. Posisi batas maksimum tidak boleh dilewati dan batas minimum boleh dilewati
sebetulnya kurva dalam teori batas (+) dan batas (-) inilah (dapat dilihat pada bagian akhir tulisan ini) yang hendak penulis operasionakan dalam menganalisis masalah riba dalam distribusi keuangan. garis hanifiyah ini bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif (+) dan batas minimum yang berada pada daerah negative (-). teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negative (-) adalah titik nol (batas netral). pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan).[16]

          melalui penerapan teori batas ini, syahrur juga kemudia berbicara tentang iu krusial lain di dalam dunia modern Islam modern, yakni poligami dan pakaian perempuan

 a.      konsep poligami
            poligami merupakan salah satu masalah yang terus memancing perdebatan di kalangan masyarakat. menurut syahrur, ketika berbicara masalah poligami haruslah merujuk pada surat an-nisa (4): 1-3 dan 6. hal ini merupakan konsekwensi dari konsep syahrur yang menolak adanya tafsir atomistik. dalam analisisnya, syahrur menangkap bahwa ayat-ayat tersebut lebih terkait dengan persoalan anak yatim. jadi dalam hal ini, persoalan poligami mempunyai hubungan sebab akibat dengan persoalan anak-anak yatim. dengan pendekatan linguistiknya, syahrur menganalisis surat an-nisa (4): 3, yang merupakan inti dari kajian poligami. di sini dia menemukan dua kata penting, yaitu tuqsithu dan ta'dilu. menurut syahrur, dengan merujuk pada lisan al-arab, tuqsithu berasal dari kata qasatha. kata tersebut mempunyai dua pengertian yang kontradiktif. makna pertama adalah al-adlu sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah (5): 42, al-Hujurat (49): 9, dan al-Mumtahanah (60): 8.  adapun makna yang kedua adalah al-dzul dan al-jur sebagaimana firman allah dalam surat al-jin (72): 14. adapun kata penting yang kedua adalah ta'dilu yang berasal dari kata 'adala. kata tersebut juga mempunyai dua makna yang kontradiktif. makna pertama berarti al-istiwa (lurus), sedangkan makna kedua adalah al-a'waj (bengkok).
            menurut syahrur, sesungguhnya allah tidak hanya memperbolehkan poligami, akan tetapi sangat menganjurkannya. namun ada dua syarat yang harus terpenuhi: pertama, bahwa isteri kedua, ketiga, dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim. dari penjelasan ini, maka perintah poligami dapat menjadi gugur ketika tidak terdapat dua syarat tersebut.[17]
b.      Pakaian perempuan
            perempuan diwajibkan untuk menutup bagian-bagian tubuhnya yang apabila ditampakkan akan menyebabkan adanya gangguan (al-ada). perintah ini berasal dari surat al-ahzab(33): 59. lebih lanjut syahrur menjelaskan bahwa gangguan (al-ada) terdiri dari dua macam, yaitu yang bersifat alami (al-tabi�fi) dan sosial (al-ijtima�fi). gangguan alami yang terkait dengan lingkungan geografis, seperti suhu udara dan cuaca. perempuan hendaknya berpakaian sesuai dengan kondisi suhu dan cuaca yang ada di tempat tinggalnya, sehingga tidak mengalami gangguan alami pada dirinya. sedangkan gangguan sosial adalah gangguan yang berasal dari masyarakat, akibat pakaian luar yang digunakan oleh perempuan. untuk konteks masa kini, pemberlakuan ayat tersebut dapat berupa tata cara bepergiannya perempuan yang didasarkan pada kebiasaan setempat, dengan catatan dapat menghindarkannya dari gangguan sosial. menurut syahrur, ayat tersebut masuk dalam klasifikasi ayat ta'limat (pengajaran), bukan sebagai penetapan hukum (tasyrif). [18]
            Berkaitan dengan jilbab, syahrur menjelaskan bahwa terma jilbab berasal dari kata ja-la-ba yang dalam bahasa arab memiliki dua arti dasar, yaitu, pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. kedua, sesuatu yang meliputi dan menutupi sesuatu yang lain. adapun kata al-jalabah berarti sobekan kain yang digunakan untuk menutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah. dari pengertian ini muncul kata al-jilbab untuk perlindungan, yaitu pakaian luar yang dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam resmi, mantel dan lain-lain. jadi menurutnya, seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk dalam pengertian al-jalabib.
            adapun aurat menurut syahrur berasal dari kata 'aurah yang artinya adalah segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan merasa malu. rasa malu mempunyai tingkatan yang bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan setempat. jadi, batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-juyub) bersifat tetap dan mutlak.[19]
            terma inti tubuh (al-juyub) didapatinya dari surat an-Nur (24): 31. menurut syahrur, ayat tersebut adalah ayat muhkam yang termasuk dalam kategori umm al-kitab. ayat tersebut menunjukkan perintah allah kepada perempuan untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub. dengan analisis linguistiknya, syahrur menjelaskan term al-juyub dan al-khimar. menurutnya, al-juyub berasal dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisa, artinya aku melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. al-juyub adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari kata ja-wa-ba yang memiliki arti dasar lubang yang terletak pada sesuatu dan juga berarti pengembalian perkataan soal dan jawab istilah al-juyub pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang yang secara rinci berupa: bagian antara dua payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat. semua bagian inilah yang dikategorikan sebagai al-juyub dan wajib ditutupi oleh perempuan. adapun kata al-khimar berasal dari kata kha-ma-ra yang berarti tutup. istilah al-khimar bukan hanya berlaku bagi pengertian penutup kepala saja, tetapi semua bentuk tutup, baik bagi kepala atau selainnya. dengan kata lain, bahwa al-khimar merupakan penutup untuk bagian tubuh perempuan yang termasuk dalam kategori al-juyub.
            Bila dikaitkan dengan teori limit (nazariyyah al-hudud) yang dirumuskannya, ia menyatakan bahwa batas minimal (hadd al-adna) pakaian perempuan yang berlaku secara umum adalah menutup daerah inti bagian atas (al-juyub al-ulwiyyah), yaitu daerah payudara dan bawah ketiak, dan juga menutup daerah inti daerah bawah (al-juyub as-sufliyyah). konsekwensinya, perempuan yang menampakkan bagian al-juyub berarti dia telah melanggar hudud allah. begitu juga perempuan yang menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, maka dia juga melanggar hudud Allah.

s





[1] Syahrur,Muhammad..Islam Dan Iman ; Atutan-Aturan Pokok,Yogyakarta : Jendela       Press.2002

[2] ibid,hal xiv
[3] ibid, hal xiv
[4] ibid, hal xiv

[6]http://yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html

[7] http://yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html
[8] ibid,hal 1
[9] http://najitama.wordpress.com/wp-admin/" \l "edn1

[10] ibid, natijma

[11]Syahrur,Muhammad..Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam                Kontemporer,Yogyakarta : eLSAQ Press.2007

[12]. ibid hal 5
[13] ibid ha l6
[14] ibid, hal 9-10
[15] ibid, hal 11

[16] Syahrur,Muhammad..Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,Yogyakarta : eLSAQ           Press.2004

[17] http://yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html

[18] http://yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html
[19] http://islamlib.com/id/artikel/syahrur-dan-teori-limit/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar